Pendapat saya agar negara Indonesia dapat lebih maju atau lebih baik adalah dengan cara memperbaiki simtem pendidikan yang diterapkan oleh negara Indonesia. Setiap warga negara harus memiliki pendidikan yang cukup atau lebih baik dari sebelumnya tidak hanya kalangan atas saja yang mendapatkan pendidikan yang layak serta nyaman, namum rakyat menengah bahkan bawah juga harus mendapatkan pendidikan yang setaraf dengan kalangan atas. Agar tidak ada anak bangsa yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup sehingga anak bangsa dapat berkontribusi untuk bangsa dengan ilmu yang telah dimiliki oleh mereka. Selain itu mereka tidak mudah untuk dibodoh - bodohi oleh budaya aing atau bahkan dari teman satu bangsa mereka. Dengan adanya kontribusi yang baik dari anak bangsa dengan dasar ilmu pengetahuan yang dimiliki baik maka pembangunan di negara Indonesia ini akan jauh lebih baik dari pada saat ini.
Selain itu juga harus memperbaiki sistem peradilan di Indonesia agar keadilan dapat dirasakan oleh setiap rakyat Indonesia dan tidak pandang buluh dalam memberikan hukuman. Sehingga jika ada oknum yang bertindak merugikan negara dan juga orang lain maka dia akan jera mendapatkan hukumannya. Dan perlakuan yang tegas serta adil dapat mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
Sabtu, 12 Oktober 2013
TABUIK - PARIAMAN (UPACARA TRADISIONAL)
Tabuik – Pariaman
Berasal dari kata ‘tabut’ dari bahasa Arab yang berarti mengarak. Upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram. Konon, Tabuik dibawa oleh penganut Syiah dari timur tengah ke Pariaman sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW.Dua minggu menjelang pelaksanaan upacara Tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat serta aneka penganan, kue-kue khas dan Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang menjalankan ritual khusus, yakni puasa.
Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di alun-alun kota. Para pejabat pemerintahan pun turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.
Selain sebagai nama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda yang menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik berjumlah dua buah dan terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa binatang berbadan kuda, berkepala manusia, yang tegap dan bersayap. Oleh umat Islam, binatang ini disebut Buraq dan dianggap sebagai binatang gaib. Di punggung Tabuik, dibuat sebuah tonggak setinggi sekitar 15 m. Tabuik kemudian dihiasi dengan warna merah dan warna lainnya dan akan di arak nantinya.
Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat musik perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Sesekali arak-arakan berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan.
Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala jenis arakannya.
SUMBER:
http://indonesiaisunik.blogspot.com/p/upacara-upacara-adattradisi-unik-di.html
http://www.alambudaya.com/2007/11/tabuik-sumatera-barat.html
Berasal dari kata ‘tabut’ dari bahasa Arab yang berarti mengarak. Upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram. Konon, Tabuik dibawa oleh penganut Syiah dari timur tengah ke Pariaman sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW.Dua minggu menjelang pelaksanaan upacara Tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat serta aneka penganan, kue-kue khas dan Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang menjalankan ritual khusus, yakni puasa.
Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di alun-alun kota. Para pejabat pemerintahan pun turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.
Selain sebagai nama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda yang menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik berjumlah dua buah dan terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa binatang berbadan kuda, berkepala manusia, yang tegap dan bersayap. Oleh umat Islam, binatang ini disebut Buraq dan dianggap sebagai binatang gaib. Di punggung Tabuik, dibuat sebuah tonggak setinggi sekitar 15 m. Tabuik kemudian dihiasi dengan warna merah dan warna lainnya dan akan di arak nantinya.
Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat musik perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Sesekali arak-arakan berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan.
Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala jenis arakannya.
Berasal dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik
merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat,
yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari
Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.
Simbol Rasa Duka
Konon,
Tabuik dibawa oleh penganut Syiah dari timur tengah ke Pariaman,
sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol dan
bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di
Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW itu. Karena kemeriahan dan
keunikan dalam setiap pagelarannya, Pemda setempat pun kemudian
memasukkan upacara Tabuik dalam agenda wisata Sumatera Barat dan digelar setiap tahun.
Dua minggu menjelang pelaksan
aan upacara Tabuik, warga Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat serta aneka penganan, kue-kue khas dan Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang menjalankan ritual khusus, yakni puasa.
Selain sebagai nama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda yang menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik
berjumlah dua buah dan terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa
binatang berbadan kuda, berkepala manusia, yang tegap dan bersayap. Oleh
umat
Islam, binatang ini disebut Buraq dan dianggap sebagai binatang gaib. Di punggung Tabuik, dibuat sebuah tonggak setinggi sekitar 15 m. Tabuik kemudian dihiasi dengan warna merah dan warna lainnya dan akan di arak nantinya.
Pada
hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, keramaian sudah terasa
di seantero Kota Pariaman. Seluruh peserta dan kelengkapan upacara
bersiap di alun-alun kota. Para warga lainnya berkerumun di tepi jalan untuk menyaksikan jalannya kirab Tabuik.
Tak hanya warga biasa, para pejabat pemerintahan pun turut hadir dalam
pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.
Tepat pada waktunya, Tabuik mulai diangkat dan karnaval pun dimulai. Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat mu
sik
perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Selama arak-arakan
berlangsung, seluruh peserta karnaval meneriakkan, “Hayya Hussain…
Hayya Hussain!!!” sebagai ungkapan hormat kepada cucu Nabi Muhammad SAW
tersebut. Sesekali, arak-arakan berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan.
Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala jenis arakannya.
Bila dibandingkan dengan upacara Tabuik yang digelar sepuluh tahun lalu, upacara Tabuik yang ada sekarang memang berbeda. Kala itu, Tabuik dibuat oleh dua kelompok warga dari kubu yang berbeda dan kemudian diadu satu sama lain. Dalam prosesnya, tak jarang diikuti pula dengan baku hantam para warga dari kedua kubu tersebut.
Atraksi Budaya Unik
Kini, unsur kekerasan yang tadinya terdapat pada Tabuik
itu telah dihilangkan. Upacara ini lebih diarahkan kepada sebuah
atraksi budaya yang menarik dan dapat dikonsumsi oleh para wisatawan.
Selain menyaksikan prosesi upacara Tabuik, para wisatawan dapat berkeliling di pasar tradisional dan bazaar yang digelar seiring dengan perayaan ini. Nikmati juga salaluk dan rakik maco, makanan khas Pariaman yang banyak dijajakan di pinggir pantai. Sayangnya, sampai kini, pelaksanaan upacara Tabuik belum digarap secara maksimal. Masih ada sejumlah kendala yang muncul dalam pelaksanaannya, terutama dalam hal pendanaan.
Perayaan Tabuik
tahun ini yang jatuh pada bulan Februari lalu misalnya. Acara ini
nyaris gagal dilaksanakan. Pemda setempat bahkan sempat mengumumkan
lewat media massa rencana pembatalan tersebut. Namun, berkat kesungguhan
warga Pariaman untuk menggelar acara ini, Tabuik pun akhirnya dapat digelar dan dapat dinikmati oleh seluruh pengunjung.
SUMBER:
http://indonesiaisunik.blogspot.com/p/upacara-upacara-adattradisi-unik-di.html
http://www.alambudaya.com/2007/11/tabuik-sumatera-barat.html
Tari Piring (bercerita tentang tarian tradisional)
TARI PIRING
Pada awalnya, Tari Piring
ini merupakan ritual ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa
setelah mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah. Ritual dilakukan dengan
membawa sesaji dalam bentuk makanan yang kemudian diletakkan di dalam piring
sembari melangkah dengan gerakan yang dinamis.
Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, tradisi Tari Piring tidak lagi digunakan sebagai ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Akan tetapi, tari tersebut digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak yang ditampilkan pada acara-acara keramaian.
Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, tradisi Tari Piring tidak lagi digunakan sebagai ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Akan tetapi, tari tersebut digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak yang ditampilkan pada acara-acara keramaian.
Di Malaysia , tarian piring dipersembahkan ketika majelis perkawinan terutama bagi keluarga berada, bangsawan dan hartawan di sebuah kampung. Tarian ini biasa dilihat di kawasan Seremban, Kuala Pilah dan Rembau oleh kumpulan tertentu. Ada yang dipersembahkan dengan pakaian lengkap dan pakaian tarian tidak lengkap. Sedikit bayaran akan dikenakan jika menjemput kumpulan tarian ini mempersembahkan tarian piring. 10 - 20 menit diperuntukkan untuk persembahan tarian ini.
Tarian piring dan silat
dipersembahkan di hadapan mempelai di luar rumah. Majelis perkawinan atau
sesuatu apa-apa majlis akan lebih meriah jika diadakan tarian piring. Namun
begitu, segelintir masyarakat tidak dapat menerima kehadiran kumpulan tarian
kerana dianggap ada percampuran lelaki dan perempuan. Bagi mengatasi masalah
itu, kumpulan tarian disertai hanya gadis-gadis sahaja.
Kira-kira 8 (delapan) abad yang lalu, Tari Piring telah ada di wilayah kehulauan Melayu. Tari Piring identik dengan Sumatera Barat. Hingga masa kerajaan Sri Vilaya, eksistensinya masih ada bahkan semakin mentradisi. Pada saat masa-masa kejayaan kerajaan Majapahitlah, tepatnya abad ke-16, kerajaan Sri Vijaya dipaksa jatuh.
Kira-kira 8 (delapan) abad yang lalu, Tari Piring telah ada di wilayah kehulauan Melayu. Tari Piring identik dengan Sumatera Barat. Hingga masa kerajaan Sri Vilaya, eksistensinya masih ada bahkan semakin mentradisi. Pada saat masa-masa kejayaan kerajaan Majapahitlah, tepatnya abad ke-16, kerajaan Sri Vijaya dipaksa jatuh.
Namun demikian, Tari Piring
tidak lantas ikut lenyap. Bahkan, Tari Piring mengalami perkembangan ke
wilayah-wilayah Melayu lain seiring hengkangnya pengagum setia Sri Vijaya.
Bergantinya pelaku peradaban memaksa adanya perubahan konsep, orientasi dan
nilai pada Tari Piring.
Pada awalnya Tari Piring
diperuntukkan buat sesembahan para dewa, dibarengi dengan penyediaan sesaji
dalam bentuk makanan yang lezat-lezat. Tarian ini dibawakan oleh beberapa
perempuan yang dengan penampilan khusus, berbusana indah, sopan, tertib, dan
lemah lembut.
Dalam perjalanannya,
orientasi atau tujuan sesembahan Tari Piring bergeser drastis. Ketika Islam
datang, orientasi penyajian tidak lagi tertuju pada para dewa, namun
dipersembahkan kepada para raja dan pejabat, khususnya saat ada pertemuan atau
forum khusus dan istimewa lainnya. Selain itu, Tari Piring juga semakin populer
dan tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan elit tertentu.
Tidak cukup sampai disitu,
perubahan orientasi terus dilakukan. Arti dan makna Tari Piring diartikan
secara agak luas. Dalam konteks ini, raja tidak harus kepala negara atau
pemimpin kekusaan politik pada rakyatnya, tapi bisa dianalogikan dengan
sepasang pengantin. Sang pengantin adalah raja, yaitu “raja sehari”. Karena
itulah tradisi Tari Piring kerap dipersembahkan dihadapan “raja sehari”
(pengantin) saat bersanding dipelaminan dalam acara walimatul ‘arsy.
Tari Piring atau dalam
bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang, adalah salah satu jenis Seni
Tari yang berasal dari Sumatra Barat yaitu masyarakat Minangkabau disebut
dengan Tari Piring karena para penari saat menari membawa piring.
Pada awalnya dulu kala Tari Piring diciptakan untuk memberi persembahan kepada para dewa ketika memasuki masa panen, tapi setelah datangnya agama islam di Minangkabau Tari Piring tidak lagi untuk persembahan para dewa tapi ditujukan bagi majlis-majlis keramaian yang dihadiri oleh para raja atau para pembesar negeri, Tari Piring juga dipakai dalam acara keramaian lain misalnya seperti pada acara pesta perkawinan.
Pada awalnya dulu kala Tari Piring diciptakan untuk memberi persembahan kepada para dewa ketika memasuki masa panen, tapi setelah datangnya agama islam di Minangkabau Tari Piring tidak lagi untuk persembahan para dewa tapi ditujukan bagi majlis-majlis keramaian yang dihadiri oleh para raja atau para pembesar negeri, Tari Piring juga dipakai dalam acara keramaian lain misalnya seperti pada acara pesta perkawinan.
Mengenai waktu kemunculan
pertama kali Tari Piring ini belum diketahui pasti, tapi dipercaya bahwa Tari
Piring telah ada di kepulaian melayu sejak lebih dari 800 tahun yang lalu. Tari
Piring juga dipercaya telah ada di Sumatra barat dan berkembang hingga pada
zaman Sri Wijaya. Setelah kemunculan Majapahit pada abad ke 16 yang menjatuhkan
Sri Wijaya, telah mendorong Tari Piring berkembang ke negeri-negeri melayu yang
lain bersamaan dengan pelarian orang-orang sri wijaya saat itu.
Tarian Piring (Minangkabau: Tari Piriang) merupakan sebuah seni tarian
milik orang Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat. Ia merupakan
salah satu seni tarian Minangkabau yang masih diamalkan penduduk Negeri
Sembilan keturunan Minangkabau.
Tarian ini memiliki gerakan yang menyerupai gerakan para petani semasa
bercucuk tanam, lembuat kerja menuai dan sebagainya. Tarian ini juga
melambangkan rasa gembira dan syukur dengan hasil tanaman mereka. Tarian
ini merupakan tarian gerak cepat dengan para penari memegang piring di
tapak tangan mereka, diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong
dan saluang. Kadangkala, piring-piring itu akan dilontar ke udara atau
pun dihempas ke tanah dan dipijak oleh penari-penari tersebut. Bagi
menambah unsur-unsur estetika , magis dan kejutan dalam tarian ini,
penari lelaki dan perempuan akan memijak piring-piring pecah tanpa rasa
takut dan tidak pula luka. Penonton tentu akan berasa ngeri apabila
kaca-kaca pecah dan tajam itu dipijak sambil menari.
Tari Piring termasuk tari
tradisional yang berumur ratusan tahun berasal dari Solok Minangkabau, Sumatera
Barat . Tarian ini meng-gambarkan rasa kegembiraan tatkala musim panen tiba.
Para muda-mudi mengayunkan gerak langkah dengan menunjukkan keboleh-annya dalam
mempermainkan piring di tangannya. Ritual rasa syukur ini dilakukan oleh
beberapa gadis cantik dengan membawa sesaji dalam bentuk makanan yang
diletakkan di dalam piring. Para gadis didandani dengan pakaian yang bagus lalu
membawa makanan dalam piring tersebut dengan gerakan yang dinamis. Setelah
Islam masuk Minangkabau, tradisi tarian ini tetap diteruskan, tapi hanya
sebagai hiburan bagi masyarakat. Tarian ini diiringi musik talempong, rebab
atau rabab dan saluang.
Tarian Piring atau dalam
bahasa Minangkabau Tari Piriang merupakan sebuah seni tarian milik orang
Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat. Tari Piring merupakan salah satu
seni tarian Minangkabau yang masih diamalkan penduduk Negeri Sembilan keturunan
Minangkabau.
Tarian ini memiliki gerakan
yang menyerupai gerakan para petani semasa bercucuk tanam, membuat kerja menuai
dan sebagainya. Tarian ini juga melambangkan rasa gembira dan syukur dengan
hasil tanaman mereka. Tarian ini merupakan tarian gerak cepat dengan para
penari memegang piring di tapak tangan mereka, diiringi dengan lagu yang
dimainkan oleh talempong dan saluang. Kadang piring-piring itu akan dilontar ke
udara atau pun dihempas ke tanah dan dipijak oleh penari-penari tersebut. Bagi
menambah unsur-unsur estetika , magis dan kejutan dalam tarian ini, penari
lelaki dan perempuan akan memijak piring-piring pecah tanpa rasa takut dan
tidak pula luka. Penonton tentu akan berasa ngeri apabila kaca-kaca pecah dan
tajam itu dipijak sambil menari.
Tari Piring atau dalam
bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang adalah salah satu seni tari
tradisonal di Minangkabau yang berasal dari kota Solok, provinsi Sumatera Barat.
Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piring sebagai media utama.
Piring-piring tersebut kemudian diayun dengan gerakan-gerakan cepat yang
teratur, tanpa terlepas dari genggaman tangan.
Indonesia memang memiliki ragam
kebudayaan yang menarik dan indah. Letak geografis serta keragaman suku di
nusantara juga turut menghasilkan seni budaya yang majemuk penuh dengan
pesonanya masing-masing. Berbagai jenis tari-tarian yang menarik dan unik juga
menjadi bukti kemajemukan budaya Indonesia. Salah satunya adalah Tari
Piring asal Minang.
Tari Piring merupakan jenis seni
tari yang berasal dari Sumatera Barat. Dalam bahasa setempat tarian ini dikenal
dengan nama Tari Piriang. Seperti namanya, para penari memang membawa piring
saat menari. Meski dahulu tarian ini ditujukan untuk memberi persembahan para
dewa ketika memasuki masa panen, namun saat ini telah berubah menjadi tarian
budaya yang sering dipertunjukan di acara-acara besar.
Tari piring berkembang pertama kali
sejak 800 tahun yang lalu hingga zaman Sri Wijaya. Tarian ini juga berkembang
ke neger-negeri melayu lainnya seiring dengan jalur perdagangan pada masa
tersebut. Meskipun terdapat beragam perbedaan di tiap-tiap daerah di Sumatera
Barat, namun tarian ini memiliki kesamaan secara keseluruhan yakni konsep
tentang sebuah ‘persembahan’
Sebelum tarian dimulai, penari
biasanya melakukan latihan serta berbagai persiapan lain seperti pemeriksaan
piring-piring yang akan digunakan untuk menari. Piring yang kurang baik akan
diganti dengan piring dengan kondisi bagus agar tidak membahayakan si penari
maupun penonton.
Tari piring diawali dengan rebana
dan gong yang dimainkan pemusik, rangkaian tarian dimainkan secara besamaan
oleh beberapa orang penari.Ragam gerakan yang menantang gravitasi kerap
ditunjukan membuat para penonton merasa ‘ngeri’ akan jatuhnya piring-piring
dari tangan penari. Sesekali terdengar bunyi gemerincing akibat ketukan cincin
yang dipakai oleh penari ke pring-piring yang digunakan sebagai properti
tarian.
Tari piring memang memiliki peranan
besar pada masyarakat Minangkabau terutama saat perkawinan dilaksanakan.
Meskipun hanya sebagai hiburan sejak budaya Hindu hilang dari tanah Minang,
tarian ini juga memiliki nilai budaya yang besar dalam masyarakat terutama bagi
keluarga yang melangsungkan pesta perkawinan agar kedua mempelai memiliki
kehidupan yang harmonis dan tentram.
Tari piring memang menjadi kebanggan
masyarakat Minang, tidak heran salah satu ragam seni budaya Indonesia ini
seringkali dipertontonkan dalam setiap pesta pernikahan suku Minang meskipun
tidak berdomisili di Sumatera Barat. Tarian ini juga sudah sangat lekat dan
menjadi salah satu warisan kebudayaan Indonesia.
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi Tari
Piring, memadai dengan pukulan Rebana dan Gong sahaja. Pukulan Gong amat
penting sekali kerana ia akan menjadi panduan kepada penari untuk menentukan
langkah dan gerak Tari Piringnya. Pada kebiasaannya, kumpulan Rebana yang
mengiringi dan mengarak pasangan pengantin diberi tanggungjawab untuk
mengiringi persembahan Tari Piring. Namun, dalam keadaan tertentu Tari Piring
boleh juga diiringi oleh alat musik lain seperti Talempong dan Gendang.
Tari Piring diiringi oleh musik
Penayuhan. Contoh lagu pengiringnya yaitu Takhian sai tiusung, Takhi pikhing
khua belas, Seni budaya lappung, Dang sappai haga tekas (jangan sampai
ditinggalkan)
Saluang adalah alat musik tradisional khas Minangkabau, Sumatra Barat. Yang mana alat musik tiup ini terbuat dari bambu tipis atau talang (Schizostachyum brachycladum
Kurz). Orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat
saluang berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan
hanyut di sungai. Alat ini termasuk dari golongan alat musik suling, tapi lebih sederhana pembuatannya, cukup dengan
melubangi talang dengan empat lubang. Panjang saluang kira-kira 40-60 cm,
dengan diameter 3-4 cm. Adapun kegunaan lain dari talang adalah wadah untuk
membuat lamang (lemang), salah satu makanan
tradisional Minangkabau.
Pemain saluang legendaris bernama Idris Sutan Sati dengan
penyanyinya Syamsimar.
Keutamaan para pemain saluang ini adalah dapat memainkan
saluang dengan meniup dan menarik napas bersamaan, sehingga peniup saluang
dapat memainkan alat musik itu dari awal dari akhir lagu tanpa putus. Cara
pernapasan ini dikembangkan dengan latihan yang terus menerus. Teknik ini
dinamakan juga sebagai teknik manyisiahan angok (menyisihkan napas).
Tiap nagari di Minangkabau
mengembangkan cara meniup saluang, sehingga masing-masing nagari memilhki ciri
khas tersendiri. Contoh dari ciri khas itu adalah Singgalang, Pariaman, Solok
Salayo, Koto Tuo, Suayan dan Pauah. Ciri khas Singgalang dianggap cukup sulit
dimainkan oleh pemula, dan biasanya nada Singgalang ini dimainkan pada awal
lagu. Sedangkan, ciri khas yang paling sedih bunyinya adalah Ratok Solok dari
daerah Solok.
Dahulu, kabarnya pemain saluang ini memiliki mantera
tersendiri yang berguna untuk menghipnotis penontonnya. Mantera itu dinamakan Pitunang
Nabi Daud. Isi dari mantera itu kira-kira : Aku malapehan pituang
Nabi Daud, buruang tabang tatagun-tagun, aia mailia tahanti-hanti, takajuik
bidodari di dalam sarugo mandanga bunyi saluang ambo, kununlah anak sidang
manusia...... dan seterusnya
Talempong adalah sebuah alat musik pukul tradisional khas suku Minangkabau. Bentuknya hampir sama dengan instrumen bonang dalam perangkat gamelan. Talempong dapat terbuat dari kuningan, namun ada pula yang terbuat dari kayu dan batu. Saat ini talempong dari jenis kuningan lebih banyak
digunakan.
Talempong berbentuk lingkaran dengan dialeter 15 sampai 17,5 sentimeter, pada bagian bawahnya
berlubang sedangkan pada bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol
berdiameter lima sentimeter sebagai tempat untuk dipukul. Talempong memiliki nada yang berbeda-beda. Bunyinya dihasilkan dari sepasang
kayu yang dipukulkan pada permukaannya.
Talempong biasanya digunakan untuk mengiringi tarian
pertunjukan atau penyambutan, seperti Tari Piring yang khas, Tari Pasambahan, dan Tari Gelombang. Talempong juga digunakan untuk melantunkan musik
menyambut tamu istimewa. Talempong ini memainkanya butuh kejelian dimulai
dengan tangga nada
do dan diakhiri dengan si. Talempong diiringi oleh akord yang cara memainkanya serupa dengan memainkan piano.
Rabab adalah alat
musik gesek tradisional khas Minangkabau yang terbuat dari tempurung kelapa. Dengan rabab ini dapat tersalurkan bakat musik seseorang. Biasanya dalam rabab ini
dikisahkan berbagai cerita nagari
atau dikenal dengan istilah Kaba.
Kesenian Rabab sebagai salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau, tersebar dibeberapa daerah dengan wilayah
dan komunitas masyarakat yang memiliki jenis dan spesifikasi tertentu.
Rabab Darek, Rabab Piaman dan Rabab Pasisie
merupakan salah satu kesenian tradisional yang cukup berkembang dengan wilayah dan di
dukung oleh masyarakat setempat. Rabab Darek tumbuh dan berkembang di daerah darek
Minangkabau meliputi Luhak nan Tigo
sedangkan Rabab Piaman berkembang di daerah pesisir barat Minangkabau, yang
meliputi daerah tepian pantai
(pesisir).
Pesisir Selatan sebagai wilayah kebudayaan Minangkabau yang
menurut geohistorisnya di klasifikasikan kepada daerah Rantau Pasisia
yang cakupan wilayah tersebut sangat luas dan didaerah inilah berkembangnya
kesenian Rabab Pasisia. Rabab Pasisia ditinjau dari aspek fisik pertunjukanya
memiliki spesifikasi tersendiri dan ciri khas yang bebeda dengan rabab lainya.
Terutama dari segi bentuk alat mirip, dengan biola secara historis berasal dari pengaruh budaya
portugis yang datang ke Indonesia pada abad ke XVI melalui pantai barat Sumatra.
Dalam rabab memiliki komposisi tersendiri
tergantung kepada lagu
yang diinginkan dengan memainkan lagu yang bersifat kaba sebagai materi
pokok. Lagu yang lahir tesebut merupajan ide gagasan yang berasal dari
komunitas masyarakat yang berbeda namun ada dalam daerah yang sama.
SUMBER :
http://tari-piring.blogspot.com/
http://tari-piring.blogspot.com/
Langganan:
Postingan (Atom)