Minggu, 10 November 2013

Taman Nasional Bunaken


Taman Nasional Bunaken

Taman Nasional Bunaken adalah taman laut yang terletak di Sulawesi Utara, Indonesia. Taman ini terletak di Segitiga Terumbu Karang, menjadi habitat bagi 390 spesies terumbu karang[2] dan juga berbagai spesies ikan, moluska, reptil dan mamalia laut. Taman Nasional Bunaken merupakan perwakilan ekosistem laut Indonesia, meliputi padang rumput laut, terumbu karang dan ekosistem pantai.[3]
Taman nasional ini didirikan pada tahun 1991 dan meliputi wilayah seluas 890.65 km². 97% dari taman nasional ini merupakan habitat laut, sementara 3% sisanya merupakan daratan, meliputi lima pulau: Bunaken, Manado Tua, Mantehage, Naen dan Siladen.
Daftar isi
Flora dan fauna
Taman Nasional Bunaken memiliki ekosistem terumbu karang yang sangat kaya.[3] Terdapat sekitar 390 spesies terumbu karang di wilayah ini.[2] Spesies alga yang dapat ditemui di Taman Nasional Bunaken adalah Caulerpa, Halimeda dan Padina, sementara spesies rumput laut yang banyak ditemui adalah Thalassia hemprichii, Enhallus acoroides, dan Thalassaodendron ciliatum. Taman Nasional Bunaken juga memiliki berbagai spesies ikan, mamalia laut, reptil, burung, moluska dan mangrove.[3] Sekitar 90 spesies ikan tinggal di perairan wilayah ini.
Di daratan, pulau ini kaya akan Arecaceae, sagu, woka, silar dan kelapa. Selain itu, Taman Nasional Bunaken juga memiliki spesies hewan yang tinggal di daratan, seperti rusa dan kuskus. Hutan mangrove di taman ini menjadi habitat bagi kepiting, lobster, moluska dan burung laut.[3]
Aktivitas manusia
Di wilayah ini, terdapat 22 desa dengan jumlah penduduk sekitar 35.000 jiwa. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai nelayan atau petani kelapa, ubi jalar, pisang dan rumput laut untuk diekspor, sementara sebagian lainnya bekerja sebagai pemandu, pekerja di cottage dan nahkoda kapal
Pariwisata di wilayah ini terus dikembangkan. Antara tahun 2003 hingga 2006, jumlah pengunjung di Taman Nasional Bunaken mencapai 32.000 hingga 39.000 jiwa, dengan 8-10.000 diantaranya merupakan turis asing.
Konservasi dan ancaman
Taman Nasional Bunaken secara resmi didirikan pada tahun 1991 dan merupakan salah satu taman laut pertama Indonesia. Pada tahun 2005, Indonesia mendaftarkan taman nasional ini kepada UNESCO untuk dimasukan kedalam Situs Warisan Dunia. Meskipun memiliki status taman nasional dan mendapat pendanaan yang cukup, taman ini mengalami degradasi kecil akibat penambangan terumbu karang, kerusakan akibat jangkar, penggunaan bom dan sianida dalam menangkap ikan, kegiatan menyelam dan sampah. World Wildlife Fund (WWF) memberikan bantuan konservasi sebagai bagian dari "Sulu Sulawesi Marine Eco-region Action Plan". Konservasi meliputi patroli, yang berhasil mengurangi penggunaan bom dalam menangkap ikan.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Bunaken

Flora Fauna yang Menjadi Maskot Satu Kota

Elang Bondol Maskot Kota Jakarta

Elang Bondol sebagai maskot kota Jakarta, pastinya sudah diketahui oleh semua warga kota Jakarta. Bahkan bus transjakarta pun turut menggunakan gambar burung Elang Bondol (dengan mencengkeram Salak Condet) sebagai logo yang terpasang di setiap bisnya. Namun bagi yang memperhatikan pastinya juga akan mafhum jika semakin hari, Sang Maskot Kota Jakarta, Elang Bondol, semakin sulit dijumpai dan langka.

Elang Bondol merupakan salah satu jenis elang yang dapat dijumpai di Indonesia. Elang Bondol kadang disebut juga sebagai Lang Lang Merah atau Elang Tembikar. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Brahminy Kite atau Red-backed Sea-eagle. Sedangkan nama ilmiah hewan ini adalah Haliastur indus yang bersinonim dengan Falco indus.

Elang Bondol sering kali hidup sendiri. Meskipun pada daerah dengan sumber makanan yang melimpah dapat hidup berkelompok hingga mencapai 35 individu. Bukan hanya penampilannya saja yang terlihat gagah, namun gerakan akrobatik burung ini di udara juga kerap mempesona. Elang Bondol sering memamerkan gerakan terbang naik dengan cepat diselingi gerakan menggantung di udara, kemudian menukik tajam dengan sayap terlipat dan dilakukan secara berulang-ulang. Selain itu sering kali burung ini terbang rendah di atas permukaan air untuk mencari mangsa.

Makanan Elang Bondol cukup bervariasi. Burung ini sering memakan kepiting, udang, dan ikan, hingga sampah dan ikan sisa tangkapan nelayan. Elang Bondol juga memangsa burung, anak ayam, serangga, dan mamalia kecil. Mangsa tersebut dapat berupa mangsa hidup ataupun telah mati.

Suara burung Elang Bondol saat terbang berpasangan terdengar seperti jeritan dengan suara “iiuw- wir-r-r-r-r”. Dan saat memburu pendatang atau burung saingan akan mengeluarkan suara lengkingan keras bernada “piiiii-yah”.

Musim berkembang biak biasanya berlangsung pada bulan Januari-Juli dan Mei-Oktober. Burung ini akan membuat sarang yang tersusun atas patahan batang, rumput, daun, rumput laut, sisa makanan dan sampah dan diletakkan di atas pohon yang tersembunyi. Dalam satu musim bertelur antara 1-4 butir berwarna berwarna putih, sedikit berbintik merah yang akan menetas setalah dierami selama 28-35 hari.

Anak elang mulai belajar terbang di usia 40-56 hari, dan mulai hidup mandiri setelah dua bulan.

Daerah Persebaran dan Habitat. Elang Bondol (Haliastur indus) mempunyai daerah persebaran yang luas mulai dari Australia, Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, Cina, India, Indonesia, Laos, Makao, Malaysia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Papua New Guinea, Filipina, Singapura, Kepulauan Solomon, Sri Lanka, Taiwan, Taiwan, Thailand, Timor-Leste, dan Vietnam. Di Indonesia, burung yang menjadi maskot kota Jakarta ini dapat ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua.

Habitat utama burung Elang bOndol adalah daerah pesisir pantai, hutan mangrove, rawa-rawa, dan danau di daerah dataran rendah hingga ketinggian 3000 meter dpl.

Populasi dan Konservasi. Secara global diperkirakan populasi burung Elang Bondol sekitar 100.000 individu dewasa (birdlife). Di tambah dengan daerah persebarannya yang sangat luas, membuat IUCN Red List tetap memberikan status konservasi Least Concern (Resiko Rendah) kepada burung pemangsa ini sejak 2004. Sedangkan CITES (Convention on International Trade of Endangered Fauna and Flora / Konvensi tentang Perdagangan International Satwa dan Tumbuhan) memasukkannya dalam daftar Apendiks II.

Di Indonesia sendiri Elang Bondol termasuk satwa yang dilindungi dan terdaftar dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. Selain itu Elang Bondol ditetapkan sebagai Fauna Identitas (Maskot) Provinsi DKI Jakarta mendampingi Salak Condet (Flora Identitas) berdasarkan Keputusan Gubernur No 1796 Tahun 1989. Terakhir, burung pemangsa ini juga dijadikan logo Transjakarta.

Meskipun populasi global masih dianggap cukup aman dari kepunahan, namun di beberapa tempat di Indonesia, Elang Bondol justru mulai langka dan sulit ditemukan. Kota Jakarta yang mengambil burung ini ssebagai maskotnya termasuk daerah yang ‘ditinggalkan’ burung ini. Keberadaannya hanya bisa ditemukan di beberapa pulau di Kepulauan Seribu saja.

Penurunan populasi Elang Bondol diakibatkan oleh hilangnya habitat, perburuan dan perdagangan satwa, penggunaan pestisida yang berlebihan dan semakin berkurangnya mangsa akibat pencemaran laut.


Sumber :

https://id-id.facebook.com/ForumHijauIndonesia/posts/331774433580327?comment_id=61397200&offset=0&total_comments=5


Karakter Wayang yang Disukai

DROPADI

Dropadi merupakan karakter wayang disukai karena sifatnya yang pemberani, suci dan memiliki jiwa yang siap mati demi kebenaran dan martabat dirinya. 

Dropadi, Drupadi, atau Draupadi (Sanskerta: द्रौपदी; Draupadī) adalah salah satu tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah puteri Prabu Drupada, raja di kerajaan Panchala. Pada kitab Mahabharata versi aslinya, Dropadi adalah istri para Pandawa lima semuanya. Tetapi dalam tradisi pewayangan Jawa di kemudian hari, ia hanyalah permaisuri Prabu Yudistira saja.
Arti nama
Pada mulanya, Dropadi diberi nama "Kresna", merujuk kepada warna kulitnya yang kehitam-hitaman. Dalam bahasa Sanskerta, kata "Krishna" secara harfiah berarti gelap atau hitam. Lambat laun ia lebih dikenal sebagai "Dropadi" (ejaan Sanskerta: Draupadī), yang secara harfiah berarti "puteri Drupada". Nama "Pañcali" juga diberikan kepadanya, yang secara harfiah berarti "puteri kerajaan Panchala". Karena ia merupakan saudari dari Drestadyumna, maka ia juga disebut "Yadnyaseni" (Yajñasenī).
Kelahiran Dropadi
Dropadi adalah anak yang lahir dari hasil Putrakama Yadnya, yaitu ritual memohon anak dalam wiracarita Mahabarata. Diceritakan setelah Drupada dipermalukan oleh Drona, beliau pergi ke dalam hutan untuk merencanakan balas dendam. Lalu beliau memutuskan untuk mempunyai putra yang akan membunuh Drona, dan seorang putri yang akan menikah dengan Arjuna. Dibantu oleh resi Jaya dan Upajaya, Drupada melaksanakan Putrakama Yadnya dengan sarana api suci. Dropadi lahir dari api suci tersebut.
Perkawinan dengan para Pandawa
Dropadi dihina di muka umum. Lukisan India karya Raja Ravi Varma.
Dalam kitab Mahabharata versi India dan dalam tradisi pewayangan di Bali, Dewi Dropadi bersuamikan lima orang, yaitu Panca Pandawa. Pernikahan tersebut terjadi setelah para Pandawa mengunjungi Kerajaan Panchala dan mengikuti sayembara di sana. Sayembara tersebut diikuti oleh para kesatria terkemuka di seluruh penjuru daratan Bharatawarsha (India Kuno), seperti misalnya Karna dan Salya. Para Pandawa berkumpul bersama para kesatria lain di arena, namun mereka tidak berpakaian selayaknya seorang kesatria, melainkan menyamar sebagai brahmana. Di tengah-tengah arena ditempatkan sebuah sasaran yang harus dipanah dengan tepat oleh para peserta dan yang berhasil melakukannya akan menjadi suami Dewi Dropadi.
Para peserta pun mencoba untuk memanah sasaran di arena, namun satu per satu gagal. Karna berhasil melakukannya, namun Dropadi menolaknya dengan alasan bahwa ia tidak mau menikah dengan putera seorang kusir. Karna pun kecewa dan perasaannya sangat kesal. Setelah Karna ditolak, Arjuna tampil ke muka dan mencoba memanah sasaran dengan tepat. Panah yang dilepaskannya mampu mengenai sasaran dengan tepat, dan sesuai dengan persyaratan, maka Dewi Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun para peserta lainnya menggerutu karena seorang brahmana mengikuti sayembara sedangkan para peserta ingin agar sayembara tersebut hanya diikuti oleh golongan kesatria. Karena adanya keluhan tersebut maka keributan tak dapat dihindari lagi. Arjuna dan Bima bertarung dengan kesatria yang melawannya sedangkan Yudistira, Nakula, dan Sadewa pulang menjaga Dewi Kunti, ibu mereka. Kresna yang turut hadir dalam sayembara tersebut tahu siapa sebenarnya para brahmana yang telah mendapatkan Dropadi dan ia berkata kepada para peserta bahwa sudah selayaknya para brahmana tersebut mendapatkan Dropadi sebab mereka telah berhasil memenangkan sayembara dengan baik.
Setelah keributan usai, Arjuna dan Bima pulang ke rumahnya dengan membawa serta Dewi Dropadi. Sesampainya di rumah didapatinya ibu mereka sedang tidur berselimut sambil memikirkan keadaan kedua anaknya yang sedang bertarung di arena sayembara. Arjuna dan Bima datang menghadap dan mengatakan bahwa mereka sudah pulang serta membawa hasil meminta-minta. Dewi Kunti menyuruh agar mereka membagi rata apa yang mereka peroleh. Namun Dewi Kunti terkejut ketika tahu bahwa putera-puteranya tidak hanya membawa hasil meminta-minta saja, namun juga seorang wanita. Dewi Kunti tidak mau berdusta maka Dropadi pun menjadi istri Panca Pandawa.
Upacara Rajasuya
Pada saat Yudistira menyelenggarakan upacara Rajasuya di Indraprastha, seluruh kesatria di penjuru Bharatawarsha diundang, termasuk sepupunya yang licik dan selalu iri, yaitu Duryodana. Duryodana dan Dursasana terkagum-kagum dengan suasana balairung Istana Indraprastha. Mereka tidak tahu bahwa di tengah-tengah istana ada kolam. Air kolam begitu jernih sehingga dasarnya kelihatan sehingga tidak tampak seperti kolam. Duryodana dan Dursasana tidak mengetahuinya lalu mereka tercebur. Melihat hal itu, Dropadi tertawa terbahak-bahak. Duryodana dan Dursasana sangat malu. Mereka tidak dapat melupakan penghinaan tersebut, apalagi yang menertawai mereka adalah Dropadi yang sangat mereka kagumi kecantikannya.
Ketika tiba waktunya untuk memberikan jamuan kepada para undangan, sudah menjadi tradisi bahwa tamu yang paling dihormati yang pertama kali mendapat jamuan. Atas usul Bisma, Yudistira memberikan jamuan pertama kepada Sri Kresna. Melihat hal itu, Sisupala, saudara sepupu Sri Kresna, menjadi keberatan dan menghina Sri Kresna. Penghinaan itu diterima Sri Kresna bertubi-tubi sampai kemarahannya memuncak. Sisupala dibunuh dengan Cakra Sudarsana. Pada waktu menarik Cakra, tangan Sri Kresna mengeluarkan darah. Melihat hal tersebut, Dewi Dropadi segera menyobek kain sari-nya untuk membalut luka Sri Kresna. Pertolongan itu tidak dapat dilupakan Sri Kresna.
Permainan dadu
Setelah menghadiri upacara Rajasuya, Duryodana merasa iri kepada Yudistira yang memiliki harta berlimpah dan istana yang megah. Melihat keponakannya termenung, muncul gagasan jahat dari Sangkuni. Ia menyuruh keponakannya, Duryodana, agar mengundang Yudistira main dadu dengan taruhan harta, istana, dan kerajaan di Indraprastha. Duryodana menerima usul tersebut karena yakin pamannya, Sangkuni, merupakan ahlinya permainan dadu dan harapan untuk merebut kekayaan Yudistira ada di tangan pamannya. Duryodana menghasut ayahnya, Dretarastra, agar mengizinkannya bermain dadu. Yudistira yang juga suka main dadu, tidak menolak untuk diundang.Adegan Dropadi ditelanjangi oleh Dursasana dalam sebuah lukisan tradisional dari daerah Punjab, dibuat sekitar abad ke-18.
Yudistira mempertaruhkan harta, istana, dan kerajaannya setelah dihasut oleh Duryodana dan Sangkuni. Karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, maka ia mempertaruhkan saudara-saudaranya, termasuk istrinya, Dropadi. Akhirnya Yudistira kalah dan Dropadi diminta untuk hadir di arena judi karena sudah menjadi milik Duryodana. Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi, namun Dropadi menolak. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun Dropadi menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna yang melihat Dropadi dalam bahaya. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.
Kematian
Dalam kitab Mahaprasthanikaparwa diceritakan, setelah Dinasti Yadu musnah, para Pandawa beserta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjalanan suci mengelilingi Bharatawarsha. Sebagai tujuan akhir perjalanan, mereka menuju pegunungan Himalaya setelah melewati gurun yang terbentang di utara Bharatawarsha. Dalam perjalanan menuju ke sana, Dropadi meninggal dunia.
Suami dan keturunan
Dalam kitab Mahabharata versi aslinya, dan dalam tradisi pewayangan di Bali, suami Dropadi berjumlah lima orang yang disebut lima Pandawa. Dari hasil hubungannya dengan kelima Pandawa ia memiliki lima putera, yakni:
  1. Pratiwinda (dari hubungannya dengan Yudistira)
  2. Sutasoma (dari hubungannya dengan Bima)
  3. Srutakirti (dari hubungannya dengan Arjuna)
  4. Satanika (dari hubungannya dengan Nakula)
  5. Srutakama (dari hubungannya dengan Sadewa)
Kelima putera Pandawa tersebut disebut Pancawala atau Pancakumara.
Dropadi dalam pewayangan Jawa
Dalam budaya pewayangan Jawa, khususnya setelah mendapat pengaruh Islam, Dewi Dropadi diceritakan agak berbeda dengan kisah dalam kitab Mahabharata versi aslinya. Dalam cerita pewayangan, Dewi Dropadi dinikahi oleh Yudistira saja dan bukan milik kelima Pandawa. Cerita tersebut dapat disimak dalam lakon Sayembara Gandamana. Dalam lakon tersebut dikisahkan, Yudistira mengikuti sayembara mengalahkan Gandamana yang diselenggarakan Raja Dropada. Siapa yang berhasil memenangkan sayembara, berhak memiliki Dropadi. Yudistira ikut serta namun ia tidak terjun ke arena sendirian melainkan diwakili oleh Bima. Bima berhasil mengalahkan Gandamana dan akhirnya Dropadi berhasil didapatkan. Karena Bima mewakili Yudistira, maka Yudistiralah yang menjadi suami Dropadi. Dalam tradisi pewayangan Jawa, putera Dropadi dengan Yudistira bernama Raden Pancawala. Pancawala sendiri merupakan sebutan untuk lima putera Pandawa.
Terjadinya perbedaan cerita antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Setelah kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu runtuh, munculah Kerajaan Demak yang bercorak Islam. Pada masa itu, segala sesuatu harus disesuaikan dengan hukum agama Islam. Pertunjukan wayang yang pada saat itu sangat digemari oleh masyarakat, tidak diberantas ataupun dilarang melainkan disesuaikan dengan ajaran Islam. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam.


Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Dropadi